Puslitbang ATR/BPN Press: Reforma Agraria di Eks Tanah Poesaka

Judul: Reforma Agraria di Eks Tanah Poesaka
Penulis: Oloan Sitorus, Dwi Suprastyo & Romi Nugroho
ISBN: -
Berat: 300 gram

Sinopsis:
Kepastian hak atas tanah merupakan dambaan bagi masyarakat yang menguasai dan mengelola objek berupa tanah di manapun berada. Kepastian hak tersebut akan menumbuhkan rasa yakin dan tidak ragu bagi pemiliknya ketika dihadapkan pada perkembangan zaman. Salah satu objek tanah yang membutuhkan kepastian adalah tanah-tanah pertanian yang selama ini masih belum diketahui, dipastikan pemiliknya secara sah, dan riwayat perolehannya. Salah satu permasalahan kepastian hak atas tanah pertanian yang melibatkan banyak subjek dan memiliki objek cukup luas adalah eks tanah Poesaka yang berada di Desa Tegalsari dan Desa Depok, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.

Riwayat pengelolaan eks tanah Poesaka yang pemanfaatanya saat ini didominasi oleh kegiatan pertanian dapat dikatakan cukup panjang dan berliku, karena sudah berjalan sejak periode Bupati Batang Pangeran Aryo Soeroadiningrat II tahun 1833. Pada perjalanannya eks tanah Poesaka ini pernah dikelola oleh pabrik gula Kalimati dan pernah dijadikan sebagai jaminan pada Algemeene Volkscrediet Bank (AVB) tahun 1935. Pada tahun 1940-1949 eks tanah Poesaka diatasnamakan (subjek) kepada Kepala Desa dan Carik (Sekretaris Desa) kedua desa untuk keperluan penarikan pajak. H.M. Noer selaku Kepala Desa dan Rahmadi selaku Carik sebagai subjek eks tanah Poesaka di Desa Depok, sedangkan Jogokaryo selaku Kepala Desa dan Darjo selaku Carik adalah subjek eks tanah Poesaka di Desa Tegalsari.

Pada perjalanannnya banyak bidang eks tanah Poesaka disewakan kepada masyarakat setempat dan terus berlanjut hingga berpuluh tahun. Persoalan semakin rumit dan terjadi pertentangan ketika bidang-bidang tanah tersebut tidak jelas manajemen pengelolaannya. Tidak sedikit eks tanah poesaka ini beralih pemilikan melalui transaksi jual beli dengan diketahui oleh kepala/perangkat desa. Selain itu klaim juga bermunculan dari pihak yang mengaku ahli waris keturunan dari Pangeran Aryo Soerodiningrat II maupun keturunan Kepala Desa serta Carik (Sekretaris Desa) H.M. Noer/Rahmadi dan Jogokaryo/Darjo.

Tidak kunjung selesainya penetapan subjek pemilik terhadap eks tanah Poesaka oleh negara (Kementerian ATR/BPN) karena banyak persoalan yang mengiringi tentu menjadi sebuah kerugian. Kerugian dimaksud adalah tidak adanya kepastian bagi masyarakat dan pemerintah desa. Untuk memutus situasi seperti ini Kementerian ATR/BPN sejak tahun 2020 telah melakukan berbagai langkah strategis, baik dari sisi kebijakan sebagai upaya penyelesaian hingga memberikan pendampingan berupa pemberdayaan bagi para petani lokal yang menggarap di lahan pertanian eks tanah Poesaka. Kegiatan pengumpulan informasi juga dilaksanakan untuk mendapatkan informasi lebih mendalam terkait situasi yang terjadi di kedua desa, termasuk keterlibatan beberapa aktor kunci. Pemetaan para aktor dan stakeholder yang memiliki keterlibatan di eks tanah poesaka menghasilkan informasi yang mendalam. Pemetaan para aktor dan stakeholder diarahkan untuk mengetahui peran dan kemungkinan siapa yang nantinya bisa memiliki hak terhadap eks tanah poesaka tersebut.

Pada akhirnya kegiatan Reforma Agraria di eks tanah Poesaka bisa menjadi kunci penyelesaian. Pelaksanaan Reforma Agraria yang didasarkan atas bukti empirik dan kondisi nyata di lapangan akan memberikan arah kepada subjek paling tepat untuk menerima program ini. Banyak energi yang harus dikeluarkan dan jika berhasil akan menjadi catatan baik bagi masyarakat di Kabupaten Batang bahwa ada harapan untuk menyelesaikan “benang kusut” eks tanah Poesaka yang sudah bergulir puluhan, bahkan ratusan tahun ini.